Mari merenung, berapa lama hidup yang sudah dijalani? Berapa banyak orang yang telah berhubungan dengan diri untuk berbagai jenis urusan? Berapa kalimat yang meluncur dari lisan kita? Dari banyak kalimat itu, berapa banyak yang bermakna dusta?
Jika masing-masing kita pernah berdusta, berapa banyak kaum Muslimin yang menanggung akibat dusta kita? Padahal Allah Ta’ala melarangnya.
Astaghfirullahal ‘azhiim.
Dalam berbagai interaksi yang kita jalani, ada berapa janji yang pernah kita buat? Ada berapa kesepakatan antara kita dengan keluarga, anak-anak, pasangan hidup, orang tua, murid, masyarakat, dan kaum Muslimin secara umum?
Dari sekian banyak kesepakatan itu, berapa banyak lagi yang kita salahi? Sudah berapa ratus, ribu, puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan kali kita menyalahi janji yang sudah disepakati?
Ampuni kami, ya Allah.
Berapa pula sahabat sesama Muslim yang tidak selamat oleh lisan lantaran kita gunjingi? Lantaran kita bicarakan keburukannya, padahal kita lebih buruk darinya; lantaran kita bincangkan dosa dan kekeliruannya, padahal dosa kita jauh berlimpah darinya.
Bukankah menjijikkan jika memakan bangkai ayam atau kambing? Lantas mengapa doyan dan hobi memakan bangkai sesama manusia?
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Mungkin kita memang pandai. Mungkin otak kita encer dan cemerlang. Mungkin kita memiliki banyak kelebihan dibandingkan orang lain. Tapi, apakah itu semua menjadi alasan hingga kita merendahkan orang lain? Bukankah semua kebaikan dan kelebihan hanya titipan dari Allah Ta’ala yang bisa dicabut seketika itu juga?
Jika semuanya dicabut, jika semua kebaikan dihilangkan, jika semua keburukan kita diperlihatkan; apa yang tersisa dari diri yang penuh kelemahan ini?
Lantas, buat apa merendahkan mereka yang bisa jadi jauh lebih mulia dalam Penilaian Allah Ta’ala?!
Ampuni kami, ya Allah…
Kita juga merasa suci. Merasa paling benar. Merasa paling sesuai sunnah. Merasa paling layak mendapatkan surga. Merasa paling sanggup menghindar dari neraka. Merasa paling cemerlang dan lurus pemahamannya.
Padahal semua amal tak mampu menyelamatkan, kecuali atas Rahmat dan karunia dari Allah Ta’ala. Padahal, semua amal bisa ditolak, sesuai dengan Kehendak dan Ilmu-Nya. Padahal, tak ada yang menjamin kita benar-benar selamat di kehidupan dunia dan akhirat.
Jadi, mengapa masih merasa suci? Untuk apa?