Beliu adalah Imam, Muftih, dan Faqihnya Makkah al-Mukarramah. Merupakan salah satu murid terbaiknya Imam Atha’ bin Abi Rabah yang sanad ilmunya tersambung sampai kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
Suatu hari di Makkah, beliau melihat Imam Syafi’ kecil yang tengah bersenandung menghafalkan syair-syair Arab. Rupanya, itulah awal mula pertemuan guru dan murid agung tersebut hingga mengubah keseluruhan hidup Muhammad bin Idris kecil menjadi imam besar yang harum namanya hingga kini.
Melihat Muhammad bin Idris bersenandung, Sang Imam yang tak lain adalah Muslim bin Khalid az-Zanji bertanya, “Apa yang kauhafal, wahai anak kecil?”
“Aku,” jawab Syafi’i kecil, “menghafal nahwu, sharaf, dan syair-syair Arab.”
“Jika demikian,” lanjut Imam Muslim, “keraskanlah hafalanmu.”
Imam Muslim pun kagum dengan kualitas hafalan Syafi’i kecil. Tutur Ustadz muda Salim A. Fillah menerangkan kekaguman Imam Muslim bin Khalid az-Zanji dalam Lapis-Lapis Keberkahan, “Ketahuilah Nak, alangkah indahnya jika kefasihan lisanmu dan merduanya suaramu digunakan untuk menjaga Sunnah Rasulullah, menyampaikan hukum-hukum syari’at kepada manusia, dan mengajari fiqih sehingga mampu memahami agama ini.”
Bagi kita, kalimat itu terdengar sederhana. Padahal, kalimat Imam Muslim bin Khalid inilah yang menjadi pemicu perubahan dahsyat pada diri Muhammad bin Idris hingga kelak menjadi salah satu imam agung kaum Muslimin di berbagai penjuru negeri.
Kalimat itu pula yang menjadi pelecut sehingga Imam Syafi’i menghafal al-Qur’an di usia 7 tahun, menyelesaikan kitab al-Muwatha’ di hadapan Imam Malik di umur 10 tahun, dan layak memberikan fatwa saat bilangan masa hidupnya baru 15 tahun.
Bagi Imam asy-Syafi’i, kata-kata Imam Muslim bin Khalid az-Zanji itu bukan kalimat biasa. Tuturnya menyampaikan kesaksian, “Andai tidak ada Muslim bin Khalid az-Zanji, mungkin tidak akan ada asy-Syfi’i, kecuali mungkin seorang penyair gelandangan yang kebingungan ke sana ke mari.”
Bagi para guru dan orang tua, hendaknya kisah ini kita jadikan sebuah teladan yang agung. Bahwa kalimat yang kita ucapkan bisa menjadi sebuah pelecut perubahan bagi siapa pun yang mendengarnya. Sebaliknya, sebuah kalimat juga bisa menjerumuskan jika muatannya negatif. Maka, berhati-hatilah dalam bertutur. [Pirman/Kisahikmah]